Total Tayangan Halaman

Sabtu, 28 Mei 2016

moon

                 Physical characteristics

Characteristics of the Moon include its distance from the Earth, size, mass, density, and temperature.

Distance
The Moon is approximately 384,400 km (239,000 miles) from the Earth.
A radio signal from the Earth and bounced off the Moon's surface back to Earth would take approximately 2 seconds. Communication with an astronaut on the Moon would thus have a several second pause between a question and an answer.

Size
The diameter of the Moon is 3479 kilometers (2162 miles). This is about 1/4 the diameter of the Earth (12,756 kilometers or 7,926 miles).

Mass
The mass of the Moon is 7.35*1022 kilograms, which is about 1/80 of the mass of the Earth. (1022 is 10 times itself 21 times or 1 followed by 22 zeros.)

Density
The density of the Moon is 3340 kg/m3.

Density problem
Can you verify the density of the Moon?
Density = mass divided by volume, d = m/V.
The volume of a sphere = 4/3 times pi times its radius cubed,
V = 4*π*r3/3.

Temperature
The average temperature on the surface of the Moon during the day is 107°C. That is hot enough to boil water on the Earth. During the night, the average temperature drops to −153°C.

Motion
The Moon revolves around the Earth in an elliptical orbit every 27.3 days. The same side of the Moon always faces the Earth. Due to the angle of the Sun on the Moon, we see different portions of Moon illuminated. These are called the phases of the Moon.


Gravity
Because of its smaller size and mass, the gravity of the Moon is about 1/6 the gravity on the Earth. That means that a person who weighs 180 pounds on Earth would only weigh 30 pounds, if measured on the Moon. That is why when the astronauts were on the Moon, they were able to jump so high—even while wearing the heavy space suit.

Moon causes tides
The force of gravity from the Moon affects the Earth. Its gravity reaches the Earth and pulls the oceans toward the Moon, causing the tides. The gravity from the Sun also affects the tides. The highest tides will always occur when the Moon and Sun are aligned. That is when 
there is a New Moon or a Full Moon.

Moon influences lunatics
There are even people who seem to be affected by the gravity of the moon. They are called "lunatics" from the Latin word luna, meaning moon. There are stories about people who are so affected by the moon that they turn into werewolves. Of course, that is fiction (I think).

Major features
The Moon shines at night, due to sunlight that is reflected off its surface.

Craters
The major features we can see on the Moon are its craters. These have apparently been caused by the impact from meteors over millions of years. Exploding volcanoes on the Moon also caused some craters.
You can see the outlines of major craters on the Moon with your naked eye. The configuration almost looks like a face. Thus, they call it "the man in the Moon."

Moon landings
Much information about the surface of the Moon came from experiments United States astronauts made when they landed on the Moon in 1969. The United States landed men on the Moon six times between 1969 and 1972. Since then, no one else has landed on the Moon.

Summary

Our Moon is only about 1/4 the diameter of the Earth, has less gravity and has craters on its surface that can be seen with the naked eye. The Moon looks bright at night because of sunlight that is reflected off its surface. American astronauts landed on the Moon between 1969 and 1972.

Sabtu, 19 September 2015

Teori Charles Darwin


Ringkasan Teori Charles Darwin tentang Asal Usul Manusia


Menurut teori yang terdapat pada buku karangan Charles Darwin yang berjudul The Descent of Man, terbitan tahun 1871 Pernyataan Darwin mendukung bahwa manusia modern berevolusi dari sejenis makhluk yang mirip kera. Selama proses evolusi tanpa bukti ini, yang diduga telah dimulai dari 5 atau 6 juta tahun yang lalu, dinyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk peralihan antara manusia moderen dan nenek moyangnya. Menurut skenario yang sungguh dibuat-buat ini, ditetapkanlah empat kelompok dasar sebagai berikut: 
1.    Australophithecines : proses terjadinya manusia
2.    Homo habilis
3.    Homo erectus
4.    Homo sapiens

Genus yang dianggap sebagai nenek moyang manusia yang mirip kera tersebut oleh evolusionis digolongkan sebagai Australopithecus, yang berarti "kera dari selatan".Australophitecus, yang tidak lain adalah jenis kera purba yang telah punah, ditemukan dalam berbagai bentuk. Beberapa dari mereka lebih besar dan kuat dan tegap, sementara yang lain lebih kecil dan rapuh dan lemah.  Dengan menjabarkan hubungan dalam rantai tersebut sebagai "Australopithecus > Homo Habilis > Homo erectus > Homo sapiens," evolusionis secara tidak langsung menyatakan bahwa setiap jenis ini adalah nenek moyang jenis selanjutnya.

       Teori yang paling popular diperkatakan berhubung kejadian manusia adalah teori evolusi Charles Darwin. Teori ini diasaskan oleh seorang pakar biologi dari England yang bernama Charles Robert Darwin (1809-1882 Masihi). Beliau menegaskan, kesemua makhluk hidup, sama ada manusia ataupun haiwan, berasal daripada keturunan yang sama (common ancestor). Keturunan yang awal ini kemudiannya berubah dari satu tahap ke tahap yang lain demi menyesuaikan diri dengan keadaan dan persekitaran yang sentiasa berubah. Hasil daripada perubahan - perubahan itu yang memakan masa jutaan tahun, akhirnya lahirlah makhluk yang kompleks yang bernama manusia. Beliau mengutarakan pendapatnya di dalam bukunya yang bertajuk The Origin of Species by Means of Natural Selection pada tahun 1859.

Sekiranya teori ini benar, kita pasti bertemu dengan banyak makhluk yang berbentuk separuh binatang separuh manusia, separuh binatang laut dan separuh binatang darat serta separuh burung dan separuh haiwan biasa kerana teori evolusi menuntut kewujudan makhluk - makhluk ini sebagai bukti berkenaan kebenarannya. Namun hingga ke hari ini makhluk seumpama itu tidak ditemui sehingga ke suatu masa Darwin sendiri meragui teorinya.

Di dalam bukunya yang bertajuk The Origin of Species beliau berkata:

"Jika makhluk - makhluk berubah dari satu spesies ke spesies yang lain, mengapa tidak ditemui spesies yang pertengahan itu (transitional forms)? Mengapa kehidupan wujud dalam keadaan teratur dan tidak kelam - kabut? Mengapa makhluk penghubung antara satu spesies dengan spesies yang lain tidak wujud? Perkara inilah yang memeningkan kepalaku selama ini!"
Kenyataan ini dilaporkan dalam The Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Species in the Struggle for Life (Charles Darwin; Senate Press, London, 1995)


Bagi membuktikan kewujudan spesies pertengahan ini, penipuan demi penipuan dilakukan oleh ahli - ahli sains tertentu. Sebagai contoh pada tahun 1912 diisytiharkan penemuan tulang rahang dan tempurung otak makhluk yang digelar sebagai Piltdown Man. Tulang - tulang ini ditemui di Piltdown, England, oleh seorang ahli sains yang bernama Charles Dawson. Ia dikatakan makhluk daripada spesies pertengahan antara binatang dengan manusia. Selepas beberapa ujian dilakukan akhirnya pada tahun 1953 didedahkan bahawa tulang rahang itu diambil daripada seekor orang hutan yang baru meninggal dunia dan tempurung otaknya adalah tempurung otak manusia yang sebenar. Hal ini dilaporkan dalam artikel bertajuk Smith Woodward's Folly oleh Stephen Jay Gould dalam majalah New Scientist, 5 April 1979.



Secara dasarnya teori Darwin menafikan kewujudan Tuhan. Kuasa penentu dalam proses evolusi ini adalah natural selection atau 'kuasa semula jadi'. Justeru pengasas teori komunisme, Karl Marx mengagumi Charles Darwin sehinggakan di dalam bukunya Das Kapital beliau menganggap dirinya pengikut setia Charles Darwin. Hal ini dinyatakan oleh Harun Yahya di dalam bukunya yang bertajuk Evolution Deceit (Ta-Ha Publishers Ltd.; UK, 1999)

Sabtu, 11 Oktober 2014

Nelayan Serakah

Nelayan Serakah

Dahulu kala di kota ini (sungai Kapuas Kalimantan Barat)  hiduplah seorang nelayan bersama istri dan anak-anaknya. Mereka tinggal dekat dengan sungai Kawat.

Mereka hidup dalam kondisi miskin, karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari hanya menggantungkan menangkap ikan, terkadang hasil, terkadang pulang membawa tangan hampa.
Pada suatu hari nelayan miskin itu pergi ke sungai membawa dua pancing untuk menjaga kemungkinan pancingnya putus, sehingga dapat menggunakan pancing satunya.

Nelayan itu mendayung perahunya masuk ke sungai Kawat. Setiba di sungai tersebut, lalu mengulur pancingnya ke dalam air. Dia menunggu pancingnya ditarik ikan, tetapi sama sekali tidak ditarik ikan. Nelayan itu beberapa kali pindah tempat, tetapi keadaannya masih tetap, tak seekorpun ikan menarik pancingnya. Nelayan itu nampaknya masih semangat menunggu pancingnya ditarik ikan,tapi masih belum juga ditarik. Dia bertekad bulat, bila pulang harus membawa ikan untuk anak-anak dan istrinya.

Hari menjelang sore, matahari mulai condong ke barat. Nelayan mendayung perahunya untuk berpindah tempat, yaitu di sebuah teiuk kecil yang banyak batunya. Tanah yang ada di sekitar itu banyak lumurnya serta pepohonan kayu yang besar. Di tempat ini pancingnya mulai diulurkan ke dalam air. Nelayan itu lama sekali menunggu pancingnya di tempat yang baru ini tetapi masih saja pancingnya belum juga ditarik ikan. Nelayan hampir saja pulang, karena matahari juga hampir terbenam, tiba-tiba pancingnya ditarik dengan keras, nelayanpun mengangkat pancingnya. Ternyata tidak seekorpun ikan yang didapat ketika pancing itu ditarik nelayan, tetapi yang menyangkut pancingnya adalah ujung kawat. Nelayan berkata, “Aduh, ikannya lepas, kini tangannya menjangkau ke ujung kawat yang menyangkut di pancingnya. Ujung kawat itu diperhatikan dalam keremangan malam itu. Nampak warnanya kekuning-kuningan, dia yakin, bahwa kawat itu benar-benar emas, sehingga dia mulai menariknya ke dalam perahu.

Kawat itu terus menerus ditarik, hingga mendapatkan beberapa meter panjangnya. Dia belum juga puas masih terus menarik, padahal seandainya kawat itu sudah didapat satu meter saja, maka hidupnya sudah lebih baik dari semula, yakni sudah berkecukupan. Dia berusaha terus menerus menarik kawat emas itu dari dalam sungai dengan sebanyak-banyaknya. Sekalipun kawat itu sudah ditarik lama sekali, tetapi masih saja belum putus. Dalam benak hatinya berkata, akulah nanti orang yang paling kaya di antara sekian banyak orang yang ada di kampungku. Sementara perahunya sudah penuh dengan gulungan kawat tersebut.

Terdengarlah suara dari dalam air, sudahlah potong di sini saja! Nelayan itu tetap tidak mau menghiraukan, dia tetap sibuk menarik kawat dari dalam sungai, biar aku cepat kaya raya, pikirnya.

Terdengarlah suara berikutnya, sudahlah potong di sini saja! jangan kamu teruskan, berhentilah di sini saja’ Tetapi nelayan itu masih juga tidak menghiraukan. Sementara perahu itu sudah berat

Nelayan serakah terus menarik kawat emas dari sungai, hingga penuh perahunya tetapi tidak disadari akhirnya tenggelam dan nelayan itu mati.

sekali dengan gulungan kawat emas itu, sehingga air masuk ke dalam perahu sampai penuh, seketika itu juga perahu tenggelam bersama nelayan ke dasar sungai. Dengan tenggelamnya perahu bersama nelayan itu, maka dia tidak pernah timbul dan mati di dasar sungai, akibat dari keserakahan yang melebihi batas. Dengan cerita di atas, sehingga sungai itu dinamakan sungai Kawat.

Asal Usul Banyuwangi

Asal Usul Banyuwangi

Di pantai Timur Pulau Jawa ada sebuah kerajaan yang diperintah Prabu Menak Prakosa. Ia mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Sri Baginda tersebut mempunyai seorang anak laki-laki yang gagah, cakap, dan bagus parasnya. Nama anak raja tersebut adalah Raden Banterang.

Raden Banterang menjadi putera mahkota yang kelak menggantikan ayahnya sebagai raja. Ia, Raden Banterang sangat dicintai dan dihormati rakyatnya. Sayangnya, ia mudah marah, bahkan sering memberikan hukuman yang berat kepada rakyatnya bila tidak mengikuti perintahnya.

Pada suatu hari, Raden Banterang berburu binatang dengan disertai beberapa pengiringnya. Dalam perburuan tersebut, Raden Banterang berpisah dengan pengiringnya. Ia berjalan seorang diri dan sampailah ia di sebuah sungai. Di tepi sungai tersebut, terlihatlah seorang gadis cantik sedang memetik bunga. Raden Banterang sangat tertarik oleh kecantikannya.

Ia bertanya dalam hati, "Mimpikah aku ini? Mengapa gadis cantik itu seorang diri dalam hutan?"

Bertanyalah Raden Banterang kepada gadis tersebut, "Wahai, puteri yang cantik. Manusia atau dewikah? Mengapa tuan puteri berada di tempat ini seorang diri?"

Gadis itu sangat terkejut, ia tidak menyangka akan ada orang lain yang mengetahuinya. Gadis cantik itu pun lalu menjawab, "Saya manusia biasa, sama sekali bukan dewi. Saya berada di sini karena takut akan serangan musuh. Beberapa waktu lalu kerajaan kami diserang oleh kerajaan lain. Ayah saya gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan. Sejak saat itu saya mengembara seorang diri sampai di tempat ini."

"Benarkah tuan puteri adalah puteri Raja Klungkung?" tanya Raden Banterang. "Benar, yang tuan katakan. Saya adalah Surati puteri raja Klungkung yang gugur itu."

Raden Banterang diam beberapa saat, ia tahu bahwa yang menyerang kerajaan Klungkung adalah ayahnya sendiri. Mendengar berita tersebut rasa iba tumbuh dalam hati Raden Banterang. Selanjutnya puteri Raja Klungkung yang bernama Surati dibawa ke istana. Tidak berapa lama kedua putera raja tersebut menikah.

Rakyat gembira sekali karena Raden Banterang mendapat isteri yang benar-benar elok dan baik budi pekerti. Berkat keluhuran budi Surati, sifat pemarah yang ada pada diri Raden Banterang berangsur-angsur hilang. Suatu saat tatkala Surati berjalan-jalan di luar istana, bertemulah dengan seorang laki-laki yang pakaiannya compang-camping.

Laki-laki itu berteriak, "Surati! Surati!"

Alangkah terkejutnya Surati mendengar teguran itu. Dipandangnya lama sekali laki-laki tersebut. Akhirnya, ingatlah bahwa laki-laki itu adalah kakak kandungnya. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa kakaknya masih hidup.

Jawab Surati, "Aduh, kakanda tercinta! Adinda tidak menyangka saat ini dapat berjumpa dengan kakanda. Adinda menyangka bahwa kakanda telah gugur bersama ayahanda. Kiranya Tuhan masih memberi perlindungan kepada kita berdua."

"Surati! Engkau tidak tahu malu mau diperisteri oleh orang yang telah membunuh ayah kita. Sekarang saya hendak menuntut balas atas kematian ayah kita. Maukah engkau membantuku?"

Jawab Surati, "Maaf kakanda, adinda telah berhutang budi kepadanya. Dia telah menyelamatkan adinda dari penderitaan. Maaf, sekali lagi, adinda tidak dapat mengabulkan permintaan kakanda. Si kakak kandung nampak kecewa dengan jawaban Dewi Surati.


Pada suatu hari, Raden Banterang sedang berburu, tatkala sedang mengejar kijang, datang seorang pengemis mendekatinya. Kata pengemis tersebut, "Tuanku Raden Banterang, sejak tadi hamba mencari Tuanku. Tuanku terancam oleh bahaya maut yang direncanakan oleh permaisuri Tuanku. Tadi pagi hamba mendengar percakapan permaisuri Tuanku dengan kakak ipar Tuanku tentang rencana mereka untuk menuntut balas kematian ayahnya. Kalau tidak percaya, di bawah peraduan permaisuri ada sebilah keris pusaka." Setelah berkata demikian, pengemis itu menghilang. Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan pengemis tersebut.

Bergegaslah pulang Raden Banterang ke istana. Sesampai di istana, ia langsung menuju peraduan permaisuri untuk meyakinkan benar tidaknya keterangan pengemis. Alangkah panas hati dan kecewanya Raden Banterang, karena yang diceritakan pengemis tadi benar, di bawah peraduan Puteri Surati ditemukan senjata pusaka kerajaan Klungkung.

Kemarahan Raden Banterang tak bisa ditahan. Diajaknya isterinya ke muara sebuah sungai. Sesampai di muara sungai, Raden Banterang menceritakan semua yang didengarnya dari seorang pengemis tatkala sedang berburu di hutan.

Raden Banterang menanyakan dengan nada kemarahan, "Itukah balasanmu kepada kebaikanku?"

niatnya menuntut balas atas kematian ayah kami. Tetapi permintaannya itu adinda tolak."

Raden Banterang tetap tidak percaya atas keterangan isterinya. Ia yakin, isterinya termasuk salah seorang yang menaruh dendam. Maka dihunusnya keris yang terselip di pinggangnya.

"Baiklah jika kakanda... jika kakanda tidak mempercayai adinda maka adinda bersedia menemui ajal di sungai ini. Tetapi harap kakanda camkan, bahwa jika nanti sungai ini berbau wangi berarti adinda tidak bersalah, jika sungai ini berbau busuk memanglah adinda bersalah."

Sebelum keris itu ditikamkan kepada isterinya, Surati melompat ke sungai lalu menghilang. Raden Banterang berseru dengan suara yang gemetar, "Banyuwangi...! Isteriku tidak berdosa."

"Banyuwangi...!" teriak seorang pengemis hampir bersamaan. "Hai, Raden Banterang! Aku adalah kakaknya. Isterimu memang tidak berdosa. Ia menolak membantuku untuk membunuhmu. Banyuwangi..., itulah tanda cinta sucinya."

Setelah selesai berkata, pengemis itu pun menghilang. Raden Banterang terburu nafsu tanpa menyelidikinya dengan cermat. Ia kecewa, ternyata perbuatannya membawa maut bagi permaisuri tercinta. Sampai sekarang tempat permaisuri menghilang dalam dasar sungai disebut Banyuwangi. Banyu artinya air, dan wangi berarti harum.


Asal Usul Kota Cianjur

Asal Usul Kota Cianjur

Konon, di suatu daerah di Jawa Barat, sekitar daerah Cianjur, hiduplah seorang lelaki yang kaya raya. Kekayaannya meliputi seluruh sawah dan ladang yang ada di desanya. Penduduk hanya menjadi buruh tani yang menggarap sawah dan ladang lelaki kaya tersebut. Sayang, dengan kekayaannya, lelaki tersebut menjadi orang yang sangat susah menolong, tidak mau memberi barang sedikitpun, sehingga warga sekelilingnya memanggilnya dengan sebutan Pak Kikir. Sedemikian kikirnya, bahkan terhadap anak lelakinya sekalipun.

Di luar sepengetahuan ayahnya, anak Pak Kikir yang berperangai baik hati sering menolong orang yang membutuhkan pertolongannya.
Salah satu kebiasaan di daerah tersebut adalah mengadakan pesta syukuran, dengan harapan bahwa panen di musim berikutnya akan menjadi lebih baik dari panen sebelumnya. Karena ketakutan semata, Pak Kikir mengadakan pesta dengan mengundang para tetangganya. Tetangga Pak Kikir yang diundang berharap akan mendapat jamuan makan dan minum yang menyenangkan. Akan tetapi mereka hanya bisa mengelus dada manakala jamuan yang disediakan Pak Kikir hanya ala kadarnya saja, dengan jumlah yang tidak mencukupi sehingga banyak undangan yang tidak dapat menikmati jamuan. Diantara mereka ada yang mengeluh,”Mengundang tamu datang ke pesta, tapi jamuannya tidak mencukupi! sungguh kikir orang itu”. Bahkan ada yang mendoakan yang tidak baik kepada Pak Kikir karena kekikirannya tersebut.

Di tengah-tengah pesta, datanglah seorang nenek tua renta, yang langsung meminta sedekah kepada Pak Kikir. “Tuan, berilah saya sedekah dari harta tuan yang berlimpah ini”, kata sang nenek dengan terbata-bata. Bukannya memberi, Pak Kikir malah menghardik nenek tersebut dengan ucapan yang menyakitkan hati, bahkan mengusirnya.

Dengan menahan sakit hati yang sangat mendalam, nenek tersebut akhirnya meninggalkan tempat pesta yang diadakan Pak Kikir. Sementara itu, karena tidak tega menyaksikan kelakuan ayahnya, anak Pak Kikir mengambil makanan dan membungkusnya. Kemudian dengan sembunyi-sembunyi dia mengikuti si nenek tersebut hingga di ujung desa. Makanan tersebut diserahkannya kepada sang nenek.
Mendapatkan makanan yang sedemikian diharapkannya, sang nenekpun memakannya dengan lahap. Selesai makan, dia mengucapkan terima kasih dan mendoakan anak Pak Kikir agar menjadi orang yang hidup dengan kemuliaan. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya hingga tibalah di salahsatu bukit yang dekat dengan desa tersebut.

Dari atas bukit, dia menyaksikan satu-satunya rumah yang paling besar dan megah adalah rumah Pak Kikir. Mengingat apa yang dialaminya sebelumnya, maka kemarahan sang nenek kembali muncul, sekali lagi dia mengucapkan doa agar Pak Kikir yang serakah dan kikir itu mendapat balasan yang setimpal. Kemudian dia menancapkan tongkat yang sejak tadi dibawanya, ke tanah tempat dia berdiri, kemudian dicabutnya lagi tongkat tersebut. Aneh bin ajaib, dari tempat ditancapkannya tongkat tersbut kemudian mencarlah air yang semakin lama semakin besar dan banyak, dan mengalir tepat ke arah desa Pak Kikir.
Menyaksikan datangnya air yang seperti air bah, beberapa warga desa yang kebetulan berada dekat dengan bukitpun berteriak saling bersahutan mengingatkan warga desa, “banjir!!!”

Penduduk desa kemudian menjadi panik, dan saling berserabutan ke sana ke mari. Ada yang segera mengambil harta yang dimilikinya, ada yang segera mencari dan mengajak sanak keluarganya untuk mengamankan diri. Melihat kepanikan tersebut, anak Pak Kikir segera menganjurkan para penduduk untuk segera meninggalkan rumah mereka. “Cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman” katanya memerintahkan. Dia menyuruh warga untuk meninggalkan segala harta sawah dan ternak mereka untuk lebih mengutamakan keselamatan jiwa masing-masing.
Sementara itu, Pak Kikir yang sangat menyayangi hartanya tidak mau begitu saja pergi ke bukit sebagaimana anjuran anaknya. Di berpikir bahwa apa yang dimilikinya bisa menyelematkannya. Dia tidak mau diajak pergi, walau air semakin naik dan menenggelamkan segala apa yang ada di desa tersebut. Ajakan anaknya untuk segera pergi dibalas dengan bentakan dan makian yang sungguh tidak enak didengar. Akhirnya anak Pak Kikir meninggalkan ayahnya yang sudah tidak bisa dibujuk lagi.
Warga yang selamat sungguh bersedih meliaht desanya yang hilang bak ditelan air banjir. Tetapi mereka bersyukur karena masih selamat. Kemudian bersama-sama mereka mencari tempat tinggal baru yang aman. Atas jasa-jasanya, anak Pak Kikirpun diangkat menjadi pemimpin mereka yang baru.

Dengan dipimpin pemimpin barunya, warga bersepakat untuk membagi tanah di daerah baru tersebut untuk digarap masing-masing. Anak Pak Kikirpun mengajarkan mereka menanam padi dan bagaimana caranya menggarap sawah yang kemudian dijadikan sawah tersebut. Warga selalu menuruti anjuran pemimpin mereka, sehingga daerah ini kemudian dinamakan Desa Anjuran.
Desa yang kemudian berkembang menjadi kota kecil ini pun kemudian dikenal sebagai Kota Cianjur.


Legenda Telaga Warna

Legenda Telaga Warna
Di Jawa Barat, dulu ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Kutatangeuhan. Rakyat kerajaan ini hidup tenang, makmur, dan sejahtera. Karena, Raja Kutatangeuhan, yaitu Prabu Suwartalaya dan Ratu Purbamanah, sangatlah bijaksana. Semuanya, berjalan dalam damai, tanpa kurang suatu apapun. 
Sayangnya hanya satu. Raja dan ratu belum dikaruniai seorang anak. Sehingga, ini menjadi kegelisahan keduanya. Penasihat raja menyarankan agar mereka mengangkat anak. Namun, raja dan ratu Kutatangeuhan tidak menyetujuinya. 
“Kami merasa lebih baik memiliki anak sendiri daripada memiliki anak angkat,” jawab mereka mengenai usulan sang penasihat.

Kegelisahan ini membuat ratu sering menangis sendirian. Sang raja pun ikutan sedih melihat istrinya menangis terus-menerus. Karena itu, dia memutuskan pergi ke hutan untuk bertapa untuk berdoa supaya dikaruniai anak. Berbulan-bulan lamanya sang raja berdoa. Pada akhirnya, doa itu dikabulkan oleh Sang Maha Pencipta. Ratu pun hamil…

Tak hanya keluarga istana yang berbahagia, rakyat Ketatangeuhan turut berbahagia mendengar kabar tersebut. Mereka membanjiri istana dengan hadiah-hadiah untuk menyambut kedatangan anak pemimpin mereka. Ketika lahir, anak itu diberi nama Gilang Rukmini. Bocah perempuan itu lahir sebagai anak yang lucu, manis, dan menggemaskan.

Sayangnya, Gilang Rukmini tidak diasuh secara baik oleh raja dan ratu. Gilang pun tumbuh menjadi gadis yang manja dengan sifat-sifat yang kurang baik. Dia tak segan berkata kasar untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Walaupun begitu, baik raja, ratu, dan rakyat sangat mencintainya.  Pada usianya 17 tahun, Prabu Suwartalaya hendak menghadiahi putrinya kalung. Dia mengambil emas dan permata ke pandai perhiasan. 

Pada hari ulang tahun sang putri, Prabu Suwartalaya pun berkata, “Putriku tercinta, hari ini adalah ulang tahunmu yang ke-17. Aku akan  memberikan kalung ini untukmu. Pakailah kalung ini, Nak.”

Gilang Rukmini melihat kalung itu sekilas, lalu menampiknya. Kalung yang dibuat dengan cinta itu terburai ke mana-mana di lantai. “Kalung apa ini? Kalung jelek!” seru Gilang Rukmini.

Penolakan itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menduga putri raja akan berbuat seperti itu. Semua hening. Tiba-tiba Ratu Purbamanah menangis melihat perilaku putrinya. Rakyatnya pun mengikuti menangis melihat ratunya menangis. Akhirnya, semua pun  meneteskan air mata, hingga istana basah oleh air mata mereka. 

Dari dalam tanah keluar juga air deras yang makin lama makin banyak. Kerajaan Ketatangeuhan pun tenggelam. Kemudian, terciptalah sebuah danau yang sangat indah.

Nama telaga itu kini dikenal orang: Telaga Warna. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun, orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri Gilang Rukmini yang tersebar di dasar telaga. 

Kisah Panglima Lidah Hitam

 Kisah Panglima Lidah Hitam

Alkisah diceritakan , pada zaman dahulu kala di salah satu puncak bukit di daerah Napo ada seorang raja yang bernama Balinapa. Seperti kata pepatah “kalau sudah duduk, lupa berdiri”, Raja Balinapa pun demikian juga. Ia sudah berkuasa sekitar tiga puluh tahun, namun tidak mau melepaskan tahtanya. Jangankan ke orang lain, pada anaknya sendiri pun ia tak mau mewariskan tampuk pimpinan kerajaannya.

Agar tetap bugar Raja Balinapa selalu berusaha keras menjaga kesehatannya, baik dengan cara berolahraga secara teratur, latihan perang, maupun pergi berburu di hutan. Selain itu, ia juga tidak lupa untuk selalu minum jamu atau obat-obatan ramuan tabib kerajaan. Semuanya itu dia lakukan agar ia dapat berumur panjang dan tetap menjadi raja.

Sedangkan untuk urusan keturunan, seperti halnya Firaun, ia hanya mau mempunyai anak-anak perempuan. Tiap permaisurinya melahirkan anak laki-laki, Raja Balinapa langsung membunuhnya. Hal ini dimaksudkan agar si anak laki-laki tidak sempat merebut kekuasaannya.

Kelakuan Raja Balinapa tersebut tentu saja membuat hati permaisuri selalu cemas. Tiap kali hamil, sang permaisuri selalu berharap agar bayinya berjenis kelamin perempuan. Ia merasa tidak tega apabila bayinya harus mati sia-sia hanya karena terlahir sebagai laki-laki.

Suatu hari, saat sang permaisuri sedang hamil tua, secara kebetulan pula Raja Balinapa ingin berburu ke daerah Mosso. Karena takut akan melahirkan bayi laki-laki, maka sang permaisuri harus menyertainya dalam perburuan.
Sebelum memasuki hutan di daerah Mosso, Raja Balinapa berpesan pada panglima perangnya bernama Puang Mosso yang menjaga Permaisuri di tepi hutan. Isi pesannya adalah apabila besok atau lusa ia belum kembali sementara permaisuri melahirkan anak laki-laki, maka anak itu harus segera di bunuh! “Segala perintah Baginda pasti akan hamba laksanakan,” jawab Puang Mosso.

Selain kepada Puang Mosso, Raja Balinapa juga menugaskan seekor anjing terlatih untuk mengawasi Permaisuri. Ia berkeyakinan bahwa manusia bisa saja dapat berubah pikiran, sementara binatang (anjing) akan selalu setia dan patuh terhadap tuannya.
Kekhawatiran Raja Balinapa ternyata terbukti. Sehari setelah ia berangkat berburu, Permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki. Namun karena memiliki suatu keanehan, yaitu lidahnya berbulu dan berwarna hitam, maka Puang Mosso yang ditugaskan untuk membunuhnya menjadi ragu dan bingung. Ia merasa tidak tega untuk segera mengakhiri hidup sang bayi.

Sementara sang anjing pengawal yang juga mengetahui bahwa Permaisuri telah melahirkan segera mendekat dan menjilati sarung bekas persalinan yang masih meninggalkan darah. Selanjutnya, anjing tersebut langsung berlari memasuki hutan untuk menemui tuannya, Raja Balinapa. Ia akan memperlihatkan darah bekas persalinan pada Raja Balinapa agar sang raja mengetahui bahwa Permaisuri telah melahirkan.

Di lain pihak, Puang Mosso yang merasa kasihan melihat keadaan bayi laki-laki itu segera mencari akal untuk mengelabuhi Raja Balinapa. Ia lalu menyerahkan bayi tersebut pada seseorang yang secara kebetulan akan berlayar ke daerah Salemo. Setelah itu, Puang Mosso menyembelih seekor kambing dan membuatkan nisan untuk kuburan. Pikirnya, raja tentu akan percaya melihat darah kambing yang tercecer di tanah dan kuburan yang dibuatnya.

Ketika Raja Balinapa kembali dari berburu, ia langsung bertanya pada Puang Mosso, “Apakah Permaisuri sudah melahirkan? Bayinya laki-laki atau perempuan?”
“Permaisuri telah melahirkan bayi laki-laki dan hamba langsung menyembelihnya, sebagaimana pesan Baginda. Marilah hamba antarkan Baginda untuk melihat kuburan bayi itu,” kata Puang Mosso dengan tenang.

Benar saja, setelah melihat kuburan dan juga darah yang berceceran di sekelilingnya, Sang Raja langsung percaya. Raja sama sekali tidak mengetahui bahwa bayinya telah dititipkan pada orang di Pulau Salemo.

Singkat cerita, sang bayi yang diasuh oleh orang Salemo itu semakin bertambah besar dan menjadi seorang remaja. Dia senang sekali memanjat. Suatu hari, ketika dia sedang memanjat pohon, tiba-tiba datanglah seekor burung rajawali raksasa yang mencengkeram pundaknya lalu membawanya terbang ke daerah Gowa. Sesampainya di sana, sang burung menjatuhkan anak itu di tengah persawahan. Para petani yang melihat kejadian tersebut segera menolong dan membawanya kepada Raja Gowa.
Setelah mengamati beberapa saat, terutama pada wujud lidah sang anak yang berbulu dan berwarna hitam, Sang Raja pun berkata pada penasihat kerajaan, “Anak ini bukanlan anak sebarangan. Oleh karena itu, peliharalah hingga dewasa dan ajarilah segala macam ilmu keperwiraan agar ia menjadi orang yang gagah, kuat dan juga sakti!”

Saat sang anak telah tumbuh dewasa dan telah menjadi seorang yang kuat, gagah, dan juga sakti, Raja Gowa kemudian mengangkatnya menjadi panglima. Dan, karena ia selalu menang dalam setiap pertempuran, maka ia pun diberi gelar Panglima I Manyambungi. Ia menjadi panglima yang ditakuti di seantero Kerajaan Gowa.
Di tempat lain, yaitu di bukit Napo, Raja Balinapa yang sebetulnya ayahanda I Manyambungi diserang oleh Raja Lego yang sakti hingga tewas. Raja Lego adalah raja yang teramat kejam. Ia suka membunuh dan mengganggu rakyat yang berada di luar negerinya. Untuk mengatasi hal ini, para raja di sekitar Kerajaan Lego yang mulai gelisah segera mengadakan pertemuan. Dan, dalam pertemuan tersebut mereka bersepakat meminta pertolongan dari Kerajaan Gowa yang dikenal memiliki seorang panglima perang yang gagah perkasa dan sakti mandraguna.

Kemudian, diutuslah salah seorang dari mereka untuk menemui Raja Gowa. Namun diluar perkiraan, Raja Gowa ternyata menolak permintaan tersebut. Ia takut apabila I Mayambungi pergi ke Balinapa, maka Kerajaan Gowa bisa saja diserang oleh kerajaan lain yang menjadi pesaingnya. Sementara itu, I Manyambungi yang dari tadi duduk di belakang Raja Gowa hanya diam saja.

Namun, saat utusan tersebut keluar dari istana Kerajaan Gowa dengan langkah gotai, tiba-tiba I Manyambungi mendatanginya dan berkata, “Saya akan turut ke Balinapa untuk membantu kalian dengan syarat yang datang menjemput saya adalah Puang Mosso. Ia harus datang secara sembunyi-sembunyi dan jangan sampai Raja Gowa mengetahuinya.”

Saat utusan yang bernama Puang Napo tiba di Balinapa, ia langsung menuju ka rumah Puang Mosso untuk menyampaikan amanat dari I Manyambungi. Ketika mendengar syarat yang diajukan I Manyambungi, Puang Mosso segera tersentak kaget, heran dan sekaligus cemas. Mengapa harus dia yang menjemput? Apa hubungan panglima terkenal Kerajaan Gowa itu dengannya?

Agar rasa penasarannya segera terjawab, maka Puang Mosso pun bergegas berangkat menuju Gowa. Tiba di Gowa dengan dada yang berdebar-bedar dia langsung menghadap I Manyambungi. I Manyambungi pun berkata, “Saya akan berangkat ke Balinapa bersamamu. Hal ini bukan karena para raja di sana yang meminta, tetapi karena aku telah berhutang budi kepadamu Puang Mosso. Engkau telah menyelamatakan nyawaku!”

Tanpa berkata apa-apa Puang Mosso segera mempersilahkan I Manyambungi mengikutinya berlayar ke Balinapa. Dalam perjalanan pulang itu dalam hati Puang Mosso bertanya-tanya, “Kenapa ia menganggapku telah menyelamatkan nyawanya? Kapankah aku pernah bertemu dengannya? Mungkinkah seorang panglima perang yang gagah perkasa dan sakti mandraguna ini pernah minta pertolonganku?”
Sebelum pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba Puang Mosso melihat I Manyambungi menguap karena mengantuk. Dari situ Puang Mosso melihat dengan jelas lidah sang panglima yang berwarna hitam dan berbulu. Spontan ia pun berteriak, “Engkau adalah putera Raja Balinapa.”

Setelah perahu merapat di Balinapa, mereka langsung menurunkan semua peralatan perang dan membawanya menuju Bukit Napo. Perjalanan dari Gowa menuju Napo nantinya membuat I Manyambungi diberi julukan lagi, yaitu “To Dilaling” yang berarti “orang yang hijrah”.

Sesampainya mereka di istana Raja Lego, I Manyambungi langsung menantangnya untuk berperang. Dan, dalam pertempuran yang sangat dahsyat dan lama itu akhirnya Raja Lego dapat dikalahkan. Raja lalim itu tewas di ujung badik I Manyambungi. Akhirnya, I Manyambungi pun didaulat oleh Rakyat Balinapa untuk menjadi raja menggantikan ayahnya. Pada masa pemerintahan I Manyambungi negeri ini menjadi aman, makmur dan sentosa.